Kisah Hidup Mao Zedong Si Petani yang Jadi Dewa Revolusi Tiongkok

mao zedong
mao zedong

Kalau ngomongin sejarah dunia abad ke-20, pasti gak bisa lepas dari sosok satu ini: Mao Zedong. Doi bukan cuma jadi pemimpin Partai Komunis Tiongkok, tapi juga orang yang sukses ngubah wajah negaranya dari sistem kekaisaran yang bobrok ke negara komunis superpower—walaupun lewat jalan yang penuh darah dan drama.

Mau tau gimana ceritanya Mao bisa naik dari anak petani desa sampai jadi “Bapak Revolusi Tiongkok”? Yuk, kita ulik bareng kisah hidupnya!

Dari Anak Desa ke Dunia Politik

Mao Zedong lahir pada 26 Desember 1893 di sebuah desa kecil bernama Shaoshan, Provinsi Hunan, Tiongkok. Dia berasal dari keluarga petani yang lumayan berada, jadi hidupnya gak terlalu susah kayak kebanyakan petani lain. Tapi jangan salah, sejak kecil Mao udah kritis, suka baca buku, dan… agak ngeyel.

Ayahnya pengen dia jadi petani, tapi Mao lebih tertarik sama pelajaran. Di usia remaja, dia belajar Konfusianisme, lalu mulai terpengaruh sama ide-ide Barat kayak demokrasi, nasionalisme, bahkan sosialisme. Dari sinilah benih-benih “pemberontakan” mulai tumbuh di pikirannya.

Awal Mula Terjun ke Dunia Revolusi

Tahun 1911, waktu Mao masih muda banget, Kekaisaran Qing runtuh gara-gara Revolusi Xinhai. Ini jadi momen penting buat Mao yang lagi semangat-semangatnya mikirin masa depan Tiongkok. Dia masuk sekolah guru di Changsha, dan mulai baca karya-karya tokoh revolusioner Barat dan Rusia, termasuk Marx dan Lenin.

Setelah lulus, Mao sempat jadi guru dan pustakawan. Tapi bukan pustakawan biasa—dia aktif banget diskusi politik, ikut rapat-rapat bawah tanah, dan makin tertarik sama ideologi komunis.

Tahun 1921, Mao ikut mendirikan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Di masa awal ini, partainya kecil banget dan gak punya kekuatan militer. Tapi Mao punya visi besar: menggerakkan petani buat jadi ujung tombak revolusi, sesuatu yang waktu itu dianggap aneh karena mayoritas revolusi biasanya didorong oleh buruh.

Jalan Panjang Melawan Kuomintang

Tiongkok waktu itu lagi kacau-balau. Setelah Kekaisaran Qing tumbang, kekuasaan dipegang oleh Kuomintang (KMT), partai nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek. Awalnya PKT dan KMT kerja sama buat lawan para panglima perang lokal. Tapi ujung-ujungnya malah saling tusuk dari belakang. Tahun 1927, Chiang mulai bersih-bersih dengan membantai kaum komunis. Mao? Kabur ke pegunungan dan mulai bangun basis gerilya.

Di sinilah lahir strategi khas Mao: perang gerilya dari desa ke kota. Dia percaya kalau petani bisa dilatih dan diberi semangat revolusi, mereka bakal jadi kekuatan utama melawan KMT.

Salah satu momen paling epik adalah Long March (1934-1935). Pasukan Komunis, termasuk Mao, jalan kaki sejauh 9.000 km lebih demi kabur dari kejaran pasukan KMT. Walau banyak yang tewas di jalan, ini malah bikin Mao makin dihormati di kalangan partainya.

Perang Dunia II dan Perubahan Arah

Pas Perang Dunia II meletus, Jepang mulai menginvasi Tiongkok. Mao dan PKT lagi-lagi “kerja sama” dengan KMT buat ngelawan Jepang. Tapi jangan salah, Mao juga diam-diam nguatkan pasukannya sambil tetap nyusun rencana ngerebut kekuasaan dari Chiang Kai-shek.

Setelah Jepang kalah tahun 1945, perang saudara antara Komunis dan Nasionalis pecah lagi. Kali ini Mao udah jauh lebih siap. Dengan strategi militer dan dukungan petani yang solid, Mao berhasil mengalahkan pasukan KMT. Tahun 1949, Mao Zedong resmi mendirikan Republik Rakyat Tiongkok dengan pidato ikoniknya di Lapangan Tiananmen: “Rakyat Tiongkok telah bangkit!”

Mimpi Besar, Eksekusi Tragis: Lompatan Jauh ke Belakang

Setelah jadi pemimpin negara, Mao punya ambisi gede: bikin Tiongkok mandiri secara ekonomi dan teknologi. Maka dimulailah program “Lompatan Jauh ke Depan” (Great Leap Forward) di tahun 1958.

Idenya sih keren: semua rakyat harus ikut produksi besi, pertanian dikolektifkan, dan ekonomi digerakkan secara masif. Tapi prakteknya? Kacau balau.

Karena kebijakan ngawur dan data palsu dari bawah, program ini malah bikin kelaparan massal yang menewaskan puluhan juta orang. Sampai sekarang, tragedi ini dianggap salah satu bencana kemanusiaan terbesar di abad ke-20.

Revolusi Kebudayaan: Kacau Lagi, tapi Nama Mao Makin Sakral

Gak kapok, Mao balik lagi ke panggung politik lewat Revolusi Kebudayaan (1966). Tujuannya? Bersihin unsur-unsur “borjuis” dan lawan-lawannya dari partai. Tapi yang terjadi malah kekacauan nasional.

Pelajar dan mahasiswa dibentuk jadi “Pasukan Merah” yang menyerang guru, pejabat, bahkan orang tuanya sendiri. Patung Mao ada di mana-mana, dan dia dipuja kayak dewa. Banyak tokoh penting ditangkap, disiksa, atau dibunuh.

Meskipun banyak yang jadi korban, Mao malah makin didewakan. Kritik terhadap Mao bisa bikin orang masuk kamp kerja paksa. Tiongkok berubah jadi negara yang nyaris totalitarian.

Akhir Hidup dan Warisan yang Kompleks

Mao Zedong meninggal pada 9 September 1976 dalam usia 82 tahun. Pemakamannya dihadiri jutaan orang yang nangis bombay, sementara dunia luar banyak yang bingung—gimana harus menilai tokoh sebesar Mao?

Di satu sisi, Mao adalah pendiri Tiongkok modern, pemimpin revolusi rakyat terbesar dalam sejarah. Tapi di sisi lain, kebijakan dan eksperimentasinya bikin jutaan orang menderita dan wafat sia-sia.

Sampai sekarang, nama Mao masih keramat di Tiongkok. Wajahnya ada di uang kertas, patungnya berdiri megah di berbagai kota, dan jenazahnya disimpan di Mausoleum Tiananmen kayak tokoh suci.

Fun Fact Tentang Mao Zedong:

  • Dia gak suka mandi, katanya air bisa bikin penyakit. Tapi suka berenang di sungai besar kayak Sungai Yangtze.

  • Mao jago puisi dan kaligrafi, bahkan tulisannya dijadiin font nasional.

  • Walau jadi simbol komunis, Mao pernah buka komunikasi dengan Amerika Serikat di era Nixon.

  • Dia punya gaya hidup yang sederhana tapi otoriter—deket sama rakyat, tapi siap menghukum siapa pun yang gak sejalan.

Pahlawan, Penjahat, atau Keduanya?

Mao Zedong adalah contoh tokoh sejarah yang penuh paradoks. Dia bisa jadi inspirasi sekaligus kontroversi. Seorang petani yang naik jadi pemimpin revolusi, tapi juga bertanggung jawab atas kematian jutaan orang.

Tapi satu hal yang pasti: Mao adalah simbol perubahan besar di abad ke-20. Tanpa Mao, Tiongkok mungkin gak akan pernah jadi seperti sekarang—baik dalam hal kekuatan, sistem politik, atau identitas nasional.

Scroll to Top