
Kalau ngomongin sejarah Tiongkok, kebanyakan orang langsung mikir Mao Zedong atau Dinasti Qing. Tapi tahu nggak sih, sebelum Mao, ada satu tokoh yang benar-benar jadi fondasi berdirinya Tiongkok modern? Yup, dia adalah Sun Yat-sen — bapak revolusi yang bisa dibilang jadi “jembatan” antara era kekaisaran ke era republik.
Sun Yat-sen ini bukan sembarang orang. Walau dia nggak pernah lama jadi presiden, gagasan dan perjuangannya bikin kekaisaran yang udah ribuan tahun berdiri runtuh. Yuk, kita kulik bareng kisah hidup Sun Yat-sen yang penuh semangat, perjuangan, dan lika-liku politik!
Masa Kecil: Dari Anak Desa ke Dunia Barat
Sun Yat-sen lahir pada 12 November 1866 di sebuah desa kecil bernama Cuiheng di Provinsi Guangdong, Tiongkok Selatan. Lahir dari keluarga petani sederhana, hidup Sun waktu kecil ya biasa aja, nggak ada yang kelihatan bakal jadi tokoh gede.
Tapi sejak muda, Sun udah punya rasa penasaran tinggi. Kakaknya, Sun Mei, tinggal di Hawaii, dan ngasih kesempatan Sun buat sekolah di sana. Nah, di sanalah Sun mulai kenal dunia barat: mulai dari gaya hidup sampai pemikiran politik modern.
Dia juga masuk Kristen dan sempat belajar kedokteran di Hong Kong. Tapi ternyata, makin dia belajar soal penyakit, makin dia sadar: penyakit terbesar Tiongkok waktu itu bukan soal tubuh, tapi politik.
Mual Liat Kekaisaran yang Korup
Waktu itu, Tiongkok masih di bawah Dinasti Qing, yang dianggap sebagai pemerintahan asing karena dipimpin etnis Manchu. Rakyat udah lama menderita: pajak mencekik, kekuasaan terpusat, ekonomi karut-marut, dan penjajahan Barat makin menjadi.
Sun Yat-sen gerah banget ngelihat bangsanya kayak gitu. Dia mulai berpikir: “Tiongkok butuh revolusi total, bukan cuma reformasi.”
Makanya, dia berhenti jadi dokter dan mulai bikin gerakan bawah tanah buat melawan kekaisaran. Gila? Mungkin. Tapi justru karena kegigihannya, dia jadi simbol perubahan.
Mendirikan Tongmenghui dan Ide Tiga Prinsip
Tahun 1905, Sun Yat-sen mendirikan Tongmenghui alias “Aliansi Revolusioner”, gabungan kelompok anti-Qing dari berbagai penjuru dunia, termasuk kalangan mahasiswa Tiongkok di Jepang.
Sun punya konsep revolusi yang dia sebut “Tiga Prinsip Rakyat” (Sanmin Zhuyi):
-
Nasionalisme (Minzu) – Usir kekuasaan asing, baik itu kolonial Barat atau Dinasti Qing.
-
Demokrasi (Minquan) – Bentuk pemerintahan yang dipilih rakyat, bukan kekuasaan turun-temurun.
-
Kesejahteraan Sosial (Minsheng) – Kesejahteraan rakyat harus jadi prioritas, bukan cuma elit.
Konsep ini jadi dasar ideologis buat Republik Tiongkok dan bahkan sampai sekarang masih dipakai di Taiwan.
Revolusi 1911: Goodbye Kekaisaran!
Setelah beberapa kali gagal melakukan pemberontakan (yang bikin dia diasingkan dan dikejar-kejar pemerintah Qing), akhirnya pada 10 Oktober 1911, Revolusi Xinhai meletus di Wuchang. Ini jadi awal kehancuran Kekaisaran Qing.
Sun Yat-sen sendiri waktu itu lagi di Amerika Serikat. Tapi karena pengaruhnya besar, dia langsung ditunjuk jadi Presiden Sementara Republik Tiongkok pada 1 Januari 1912. Bayangin, dari anak petani sampai jadi kepala negara!
Sayangnya, masa jabatannya pendek. Dia sadar kekuatannya belum cukup buat ngelawan panglima perang yang punya militer kuat, kayak Yuan Shikai. Jadi, Sun rela mundur demi menyatukan Tiongkok, asal revolusi nggak gagal total. Salut banget kan?
Dikhianati dan Terus Berjuang
Ternyata, Yuan Shikai malah memanfaatkan situasi buat jadi diktator baru. Dia bahkan sempat nyoba ngembalikan sistem kekaisaran dan nyebut dirinya kaisar. Sun Yat-sen? Balik lagi ke bawah tanah, bikin partai baru: Kuomintang (KMT) atau Partai Nasionalis.
Sun bolak-balik ke luar negeri buat nyari dukungan revolusi. Dari Jepang, Eropa, sampai Rusia. Dia sadar, kunci masa depan Tiongkok ada di persatuan dan sistem politik yang adil. Tapi jalannya nggak mulus. Banyak daerah dikuasai panglima perang, dan Tiongkok terpecah jadi berbagai faksi.
Akhir Hidup: Gagal Lihat Mimpinya Terwujud
Meski bolak-balik dihianati, Sun Yat-sen nggak pernah berhenti berjuang. Dia bahkan sempat kolaborasi sama Partai Komunis Tiongkok, karena dia percaya semua kekuatan anti-feodal harus bersatu dulu buat modernisasi negara.
Tapi sayang, Sun wafat terlalu cepat. Pada 12 Maret 1925, dia meninggal karena kanker hati di usia 58 tahun.
Dia nggak sempat lihat Tiongkok bersatu, apalagi jadi republik ideal sesuai mimpinya. Tapi jasanya tetap diakui: Mao Zedong, Chiang Kai-shek, bahkan pemimpin Taiwan zaman sekarang pun tetap menghormati Sun sebagai “Bapak Tiongkok Modern”.
Warisan Sun Yat-sen: Dihormati Dua Dunia
Uniknya, Sun Yat-sen adalah satu dari sedikit tokoh yang dihormati baik di Tiongkok Daratan maupun Taiwan, dua negara yang saling bersitegang sampai sekarang.
Di Beijing, ada Mausoleum Sun Yat-sen. Di Nanjing, ada juga yang lebih besar, tempat peristirahatan terakhirnya yang megah banget. Di Taiwan? Dia dianggap sebagai pendiri Republik Tiongkok, dan fotonya nongol di kantor-kantor pemerintahan.
Bahkan Hong Kong dan Makau juga punya patung-patung Sun. Artinya, walau negaranya pecah, semua pihak sepakat: tanpa Sun Yat-sen, gak ada Tiongkok modern.
Fun Fact Tentang Sun Yat-sen:
-
Dia punya banyak nama, termasuk Sun Zhongshan, Sun Wen, sampai “Dokter Sun.”
-
Bahasa Inggrisnya lancar banget karena pernah sekolah di Hawaii.
-
Dianggap sebagai pendiri republik pertama di Asia Timur, sebelum Jepang atau Korea punya sistem demokrasi.
-
Waktu masih muda, dia sempat nyolong patung dewa di kampungnya, karena kecewa rakyat lebih percaya mistis daripada pendidikan. Berani banget!
-
Dia pernah kabur dari pengejaran polisi Qing dengan nyamar jadi biksu, lengkap dengan kepala plontos.
Sun Yat-sen, Revolusioner yang Sopan
Sun Yat-sen bukan tipe pemimpin brutal kayak Stalin atau Mao. Dia lebih mirip tokoh intelektual humanis yang idealis, tapi tetap realistis. Perjuangannya nggak cuma soal kudeta atau senjata, tapi juga ide dan mimpi.
Dia bukan presiden terlama, bukan pemimpin perang, dan bahkan bukan pendiri Tiongkok versi sekarang. Tapi… tanpa Sun Yat-sen, mungkin revolusi Tiongkok nggak akan pernah jalan.